Sejarah Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi'iyah SUKOREJO
Awalnya areal Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo adalah hutan belantara yang membentang dari Gunung Baluran sampai wilayah Asembagus. Hutan belantara itu dikenal sangat angker karena disamping dihuni oleh binatang buas, juga dedemit. Saat itu penduduk tidak ada yang berani memasuki hutan tersebut.
Pada tahun 1328 H / 1908 M, Kiai Syamsul Arifin —– atas saran Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah —– dibantu putranya, As’ad dan beberapa orang santri yang menyertai dari Madura, membabat dan merambah hutan tersebut untuk didirikan sebuah pesantren dan perkampungan.
Upaya keras Kiai Syamsul Arifin akhirnya terwujud. Berdirilah sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk untuk difungsikan rumah, musalla dan asrama santri yang waktu itu hanya beberapa orang.
Sejak tahun 1914, pesantren kecil itu berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari wilayah sekitar Karesidenan Besuki. Tahun itu pula kemudian dijadikan tahun berdirinya Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah. Setiap perayaan ulang tahun selalu dirujuk pada tahun itu.
Perkembangan selanjutnya, Desa Sukorejo yang letaknya 7 kilometer sebelah timur Asembagus (30 km arah timur kota kabupaten Situbondo) tidak hanya berdiri sebuah pesantren, masyarakat pun mulai berdatangan untuk kemudian menetap di desa itu. Hutan yang telah dirambah itu pun berkembang menjadi areal pertanian ladang dan kebun yang hasilnya mulai bisa dirasakan penduduk. Pergaulan penduduk dengan pesantren pun berlangsung harmonis.
Kiai Syamsul Arifin sendiri selain mengasuh beberapa santri, juga membantu masyarakat khususnya dalam memberikan pertolongan pengobatan dan hajat masyarakat lainnya. Dan lambat laun nama Kiai Syamsul Arifin mulai dikenal hingga ke berbagai daerah, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, pertambahan santri mulai tampak.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, Pesantren Sukorejo tidak hanya menjadi pusat belajar, tapi juga sebagai pusat perjuangan kemerdekaan. Para pejuang banyak ditampung di pesantren, sekaligus sebagai markas penyusunan strategi melawan penjajah.
Ketika itu proses belajar mengajar baru bisa dilaksanakan melalui sistem sorogan dan bandongan, hingga kemudian Kiai As’ad yang menggantikan Kiai Syamsul Arifin setelah beliau wafat pada tahun 1951, sistem belajar mengajar dan pendidikan mulai dikembangkan ke sistem klasikal dengan didirikannya berbagai lembaga pendidikan, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, SD, SLTP, SLTA sampai perguruan tinggi.
Dalam upaya mewujudkan pendidikan modern sesuai kebutuhan zaman, berbagai lembaga pendidikan kejuruan dan keahlian pun didirikan, seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Lembaga Kader Ahli Fiqh Ma’had Aly dan Madrasatul Qur’an sebagai lembaga kajian dan pendalaman ilmu-ilmu Al Qur’an. Termasuk lembaga ekonomi Koperasi. Lembaga-lembaga informal seperti kursus dan pelatihan juga turut mewarnai perkembangannya.
Sumber :
MENGENAL SOSOK K.H.R. SYAMSUL ARIFIN (PENGASUH I DAN PENDIRI PONDOK PESANTREN SYALAFIYAH SYAFI'IYAH SUKOREJO) DAN PERJUANGANNYA
Di tahun 1619 M, Kiai Ruham mendirikan pondok pesantren Kembang kuning di desa lancar , kecamatan larangan, kabupaten pamekasn, madura. Dari pengasuh pesantren kembang kuning ini, yakni kiai ruham dan nyai nur sari (Khotijah) lahirlah seorang anak laki-laki bernama Ibrahim yang kemudian dikenal dengan nama K.H.R. Syamsul Arifin. dari literatur yang ada diceritakan bahwa keluarga pesantren ini masih keturunan bangsawan dan punya pengaruh besar di madura pada tahun 1841. Ibunda K.H.R. Syamsul Arifin (Nyai Nur Sari) adalah keturunan Bendoro saut, dalam sejarah kerajaan madura, bindoro saut dikenal sebagai Bupati Sumenep yang bergelar Tumenggung tirtonegoro di tahun 1750-an. Bendoro saut merupakan keturunan pangeran katandur yang merupakan cucu Sunan Kudus.
Ketika usia Raden Ibrahim alias K.H.R. Syamsul Arifin menginjak usia Remaja (sekitar 12 tahun) kiai ruham memondokkan K.H.R. Syamsul Arifin ke pondok pesantren sidogiri. Dipondok pesantren sidogiri inilah K.H.R. Syamsul Arifin menempa ilmunya bahkan pernah menjadi tenaga pengajar. Setelah lama mondok di sidogiri, K.H.R. Syamsul Arifin kemudian pindah ke pondok pesantren langitan tuban. Setelah itu pindah lagi ke pesantren bangkalan dibawah asuhan langsung syaikhona kholil, di pesantren bangkalan inilah K.H.R. Syamsul Arifin mulai menampakkan keistimewaannya.
Setelah menyelesaikan pendidikan di pondok bangkalan. Seperti lazimnya para santri K.H.R. Syamsul Arifin mohon diri untuk pulang kampung. sebelum pulang tak lupa mohon do’a restu sang guru agar menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, agama, dan selalu mendapat ridha Allah SWT. Setelah pulang kampung, K.H.R. Syamsul Arifin dihadapkan dengan kondisi masyarakat yang kurang berkenan terhadap orang-orang pesantren, suasana kampung halaman kala itu diwarnai perbuatan-perbuatan maksiat seperti perjudian, sabung ayam dan perbuatan maksiat lainnya.
K.H.R. Syamsul Arifin yang baru saja keluar dari pesantren, merasa terbebani dosa jika membiarkan perbuatan maksiat terus membudaya. Akhirnya, K.H.R. Syamsul Arifin memutuskan untuk terjun ke arena munkarat itu dengan membawa pesan-pesan agama (berdakwah). Ia paham betul terhadap cara dan sikap yang mesti ditempuh untuk menghadapi para penjahat. Suatu ketika K.H.R. Syamsul Arifin mendengar ada pesta remongan (semacam pesta para penjudi, garong dan sejenisnya) tidak jauh dari kampungnya. Dengan celurit dan sangkur dipinggang. K.H.R. Syamsul Arifin berjalan menyusuri keramaiaan pengunjung pesta remongan bak seorang jagoan. Ternyata, cara seperti itu cukup berhasil untuk memancing kesombongan mereka. Dan terjadilah bentrok fisik. Namun, setiap terjadi bentrokan, K.H.R. Syamsul Arifin selalu berhasil melumpuhkan kekuatan mereka. Dari sinilah K.H.R. Syamsul Arifin menjadi pemuda yang paling ditakuti para penjahat, sehingga dengan mudah ia melancarkan dakwahnya.
Namun, tindakan nekat itu kemudian didengar ibundanya, Nyai Nur sari (khotijah). Seperti umumnya kaum ibu. Nyai Khotijah pun lantas melarang K.H.R. Syamsul Arifin mengulangi tindakannya yang berisiko tinggi. Sebagai anak yang patuh terhadap orang tua, K.H.R. Syamsul Arifin tidak pernah lagi keluar rumah, sampai kemudian ia dikembalikan ke pondok pesantren untuk yang kedua kalinya, yakni kepesantren Sidogiri, Pasuruan. Setelah beberapa tahun di Sidogiri, Syamsul kemudian dimondokkan ke Mekkah untuk menuntut Ilmu Agama disana. Dan kebetulan, kala itu putra mahkota Pondok Sidogiri, kiai Nawawi,juga akan di berangkatkan ke Mekkah untuk tujuan dan maksud yang sama. Maka berang katlah K.H.R. Syamsul Arifin bersama kiai Nawawi ke tanah Suci. Tidak ada keterangan rinci tentang keberangkatan kedua santri ini, kecuali penegasan bahwa K.H.R. Syamsul Arifin akhirnya mukim di mekkah sampai 40 tahun lamanya.
Bahkan selama di tanah suci , Syamsul Arifin sempat bertemu seorang gadis asal madura (Bangkalan) bernama Maimunah binti Kia Haji Muhammad Yasin—- keluarga dekat Kiai Kholil dan tedak keturunan syekh Syarif Hidayahtullah ,ceribon. Pertemuan disaat musim haji itu. Pada tahun 1890 M (hari dan bulan beserta tanggalnya tidak ditemukan), K.H.R. Syamsul Arifin menikah dengan Maimunah di Makkah. Dari perkawinan ini lahir dua anak laki-laki, As’ad dan Abdurrohman.
Kini K.H.R. Syamsul Arifin tidak sendiri lagi. Ia adalah pemimpin keluarga yang mesti bertanggung jawab kepada istri dan kedua anaknya. Naluri kebapakannya mulai tumbuh. Ini terlihat ketika As’ad berumur 6 Tahun, K.H.R. Syamsul Arifin tiba-tiba memutuskan untuk pulang ke tanah Air, ke pesantren Kembang Kuning, Pamekasan , Madura. K.H.R. Syamsul Arifin ingin mengabdikan dirinya kepada masyarakat tempat ia dilahirkan. Maka, ia beserta istri dan putranya, As’ad, Pulang kampung. Kecuali Abdurrahman yang kala itu, masih berumur 4 tahun dititipkan kepada Nyai Salkah, saudara sepupu maimunah, yang memang mukim di Makkah.
Di kembang kuning, K.H.R. Syamsul Arifin membantu ayahnya mengajar di pondok. Namun belum lama ia menggantikan Ayahnya, isteri tercinta nyai Maimunah jatuh sakit kemudian meninggal. Jenazah almarhum Nyai Mamunah (Ibu kandung As’ad) ini kemudian di makamkan di belakang masjid jami’ Tallang, sekitar 300M sebelah timur Pondok Kembang Kuning. K.H.R. Syamsul Arifin kemudian nikah lagi dengan Nyai Siti Syaidah, janda dari kiai Syarkowi— pendiri pondok guluk-guluk Sumenep.
Setelah menetap hampir lima tahun lamanya di kembang kuning K.H.R. Syamsul Arifin teringat pesan-pesan gurunya ketika di mekkah salah satu pesan gurunya adalah agar K.H.R. Syamsul Arifin mendirikan sebuah pondok pesantren untuk mengembangkan islam. Pesan itu selalu menghantui K.H.R. Syamsul Arifin. Oleh karena itu, bisa dimengerti jika kemudian K.H.R. Syamsul Arifin mementa izin kepada ayahandanya (kiai Ruham) untuk merantau ke pulau jawa. Permohonan K.H.R. Syamsul Arifin dikabulkan bahkan mendapatkan restu dari beberapa ulama madura. Kemudian berangkatlah K.H.R. Syamsul Arifin bersama Nyai Siti Saidah menyebrang ke pulau jawa melalui talang siring madura menuju pelabuhan panarukan situbondo .
Setibanya di panarukan, K.H.R. Syamsul Arifin mengembara ke arah timur hingga bertemu dengan sebuah pesantren di desa sambirampak, situbondo. Di Pondok kiai sambi ini, K.H.R. Syamsul Arifin bermukim agak lama sambil membantu mengajar agama. K.H.R. Syamsul Arifin juga bertemu dengan seorang habib bernama asadullah. Habib ini memberi saran agar K.H.R. Syamsul Arifin kembali lagi ke mekkah, karena untuk memimpin pesantren masih perlu tambahan ilmu. Saran itu diturutinya, kemudian K.H.R. Syamsul Arifin pulang ke kembang kuning untuk pamitan kepada orang tuanya untuk berangkat lagi ke mekkah.
Kepergian K.H.R. Syamsul Arifin ke tanah suci untuk yang kedua kalinya adalah untuk memperdalam ilmu agama. Setelah dianggap cukup, ia kembali lagi ke kembang kuning untuk bertemu sanak familinya. Setelah beberapa hari di kembang kuning K.H.R. Syamsul Arifin menyebrang ke situbondo bersama nyai saidah dah K.H.R. As’ad. Setibanya di situbondo , K.H.R. Syamsul Arifin langsung sowan ke pengasuh pondok sambirampak, setelah itu sowan ke kiai nahrawi ,di rumah kiai nahrawi ini K.H.R. Syamsul Arifin bertemu lagi dengan habib asadullah yang menyarankan agar K.H.R. Syamsul Arifin kembali lagi ke mekah dan juga bertemu dengan habib al musawa. Kemudian kedua habib inilah yang menunjukkan lokasi yang tepat. Namun , baik kiai Asadullah dan habib al musawa sowan dulu kepada kiai abdul alim yang tinggal di wilayah banyuputih. Setelah menemukan lokasi yang tepat, yakni di Suko Beloso yang kemudian dikenal dengan Sukorejo K.H.R. Syamsul Arifin segera membabat hutan untuk mendirikan gubuk dan mushalla. Di tanah sukorejo inilah K.H.R. Syamsul Arifin berjuang (berdakwah) menegakkan agama islam.(Red)
K.H.R. Syamsul Arifin (Pendiri Dan Pengasuh I)
KH. As’ad Syamsul Arifin : Kiai yang Gigih Membangun Agama dan Bangsa
Asembagus, 1 Sya’ban 1410 H.
... Sampai waktu acara hiburan. Grup hadrah dari Madura tampil dengan “kostum” jas hitam, peci hitam, dan sarung bercorak terang menyala. Sangat lucu. Mereka mendendangkan kasidah pujian kepada Nabi Muhammad Saw. yang mereka padukan dengan gerakan-gerakan penghormatan bersahaja. Saya mbatin, “Wah, ini ditampilkan di TIM pun, saya kira tidak malu-maluin.”
Saya benar-benar bisa menikmati sajian tradisional pesantren ini. Tapi hanya sebentar. Saya mendengar isak tangis. Saya toleh; ternyata Kiai As’ad terguguk-guguk menangis, sambil berulang-ulang melontarkan semacam takbir atau salam kepada junjungannya, junjungan kita, Nabi Muhammad Saw. Seolah-olah sang nabi ikut rawuh di tengah-tengah majelis. Air mata beliau berlelehan, meskipun sesekali diusap dengan sapu tangan beliau yang lusuh. Saya melihat suatu kerinduan aneh oleh sesuatu yang melampaui penghayatan.
Demikianlah A. Mustofa Bisri memberikan potongan kesaksian dalam sebuah tulisan di majalah Warta sekitar September 1990 tentang ulama besar ini. Jika dibaca utuh, maka dari kesaksian itu tergambar, betapa beliau adalah seorang kiai sepuh yang sederhana, berwibawa, kebapakan, akrab, humoris, lembut, dan berjiwa seni tinggi. Siapakah beliau?
Masa Kecil dan Menjadi Santri
Beliau adalah KH. R. As’ad Syamsul Arifin. Lahir di Syiib Ali, sebuah perkampungan dekat Masjidil Haram, Mekkah, pada 1897 dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maimunah. Bayi laki-laki itu diberi nama Raden As’ad yang berarti “sangat bahagia”. Betapa tidak? Pada puncak pencapaian kematangan menuntut ilmu selama dua puluh lima tahun di Mekkah, Raden Ibrahim mendapat karunia seorang anak laki-laki.
Raden Ibrahim, ayahnda Raden As’ad –yang kemudian lebih dikenal sebagai Kiai Syamsul Arifin—masih keturunan Sunan Ampel. Sedangkan ibunya merupakan titisan darah bangsawan dari Tumenggung Tirtonegoro atau Bendara Saud, salah seorang Bupati Sumenep, dan masih keturunan Pengeran Ketandur, cucu Sunan Kudus.
Ketika berumur 6 tahun, Raden As’ad diajak orang tuanya pulang kampung ke PP Kembang Kuning, Pamekasan. Di PP ini Kiai Syamsul membantu abahnya, Kiai Ruham, mengajar para santri. Tidak berapa lama, Siti Maimunah, ibunda Raden As’ad meninggal dunia.
Menginjak usia 11 tahun, Raden As’ad diajak ayahnya menyeberangi laut untuk menyebarkan Islam ke tempat lain. Mereka lalu membabat hutan di sebelah timur Asembagus dan sebelah barat hutan Baluran. Daerah itu terkenal angker. Dulu tidak ada orang, kecuali harimau dan ular berbisa. Di bekas hutan itu, mereka membangun permukiman yang kemudian menjadi Desa Sukorejo. Mereka juga membangun mushala yang menjadi cikal-bakal pesantren Sukorejo saat ini.
Pada masa mudanya inilah KH. R. As’ad muda menghabiskan masa lajangnya di berbagai PP. Beberapa PP yang beliau pernah menimba ilmu antara lain: PP Demangan Bangkalan asuhan KH. Cholil, PP Panji, Buduran di bawah asuhan KH. Khozin, PP Tetango Sampang, PP Sidogiri Pasuruan di bawah bimbingan KH. Nawawi, PP Banyuanyar Madura di bawah asuhan KH. Abdul Majid dan KH. Abdul Hamid, dan terakhir di PP Tebu Ireng Jombang bersama KH. Hasyim Asy’ari.
Setelah malang melintang di berbagai pesantren beliau melanjutkan studinya ke Mekkah al-Mukarramah dan berguru kepada ulama’-ulama besar, seperti Sayyid Muhammad Amin Al-Qutby, Syekh Hasan Al-Massad, Sayyid Hasan Al-Yamani, Syekh Abbas Al-Maliki, serta beberapa ulama besar lainnya.
Ketika berangkat mondok, Raden As’ad hanya menggunakan keranjang sebagai tempat pakaian dan bahan makanan. Pernah suatu saat, ayahndanya membelikan koper dan mengutus santri untuk menyerahkan kepada Raden As’ad. Tetapi, ia menolak. Ia lebih senang hidup sederhana. Selama mondok pun, ia hidup mandiri. Ia tak mau merepotkan orang tuanya, karena itu mereka tak pernah mengiriminya. Kadang-kadang Raden As’ad mondok sambil berjualan tikar.
Raden As’ad selama mondok selalu dekat dengan sang Kiai pondok tersebut. Semua Kiai mempunyai keistimewaan tersendiri. Tetapi beliau sangat terkesan pada dua sosok Kiai, yakni Kiai Cholil Bangkalan dan Kiai Hasyim Asy’ari Tebu Ireng Jombang. Kenang beliau, “Saya mendapat barakah dari dua Kiai besar ini. Saya merasa benar-benar jatuh cinta pada kedua Kiai ini. Karena itu, semangat saya untuk menyerap pelajaran dari Kiai ini, masyaAllah, besar sekali!”
Maka tak heran jika Raden As’ad tidak akan berhenti menuntut ilmu pada seorang Kiai sebelum pernah mencicipi ‘madunya’ ilmu kiai itu. Dan ketika liburan pun, bukan berarti beliau libur mengaji. Abahnya akan selalu memberi tugas. Misalnya menghapal Nazham Alfiyyah, yang berhasil dikhatamkannya dalam 40 hari, juga Nazham Imrithi yang berhasil hapal luar kepala dalam 21 hari. Juga kitab-kitab yang lain.
Kiai Syamsul mengharapkan anaknya tidak berlebih-lebihan dalam mengerjakan sesuatu, termasuk dalam hal belajar. Seorang santri harus memperhatikan kondisi jasmaniahnya, agar ia tetap sehat dan nyaman ketika belajar dan beribadah. Pesan abahnya, “Lapar, ngakan! Ketondu, tedung! Jek sampek lapar karna lapar meposang dek pekeran! (Lapar, makanlah! Ngantuk, tidurlah! Jangan sampai kelaparan, karena lapar membuat linglung berpikir!)”
Selepas wafatnya Kiai Syamsul Arifin pada 1951, Raden As’ad diamanahi untuk memimpin pondok pesantren Sukorejo tersebut.
Kiai As’ad dan NU
Belum lengkap rasanya cerita NU tanpa peranan ulama besar ini. Kiai As’ad adalah sosok kiai yang dari awal telah menganut paham-paham ahl al-sunnah wa al-jama’ah dan selalu menghiasi kehidupan dalam kesehariannya dengan budaya-budaya ke-NU-an.
Saat menjadi santri KH. Cholil bangkalan, Kiai As’ad muda menjadi santri kesayangan gurunya sehingga pada masa di mana terjadi peralihan Perkumpulan Ulama dalam “ Komite Hijaz “ menjadi “jam’iyah”, Kiai As’ad muda menjadi satu-satunya mediator dalam penyampaian isyarah KH. Cholil kepada KH. Hasyim Asy’ari, Jombang. Beliau diutus oleh Kiai Cholil pada tahun 1924 untuk menyampaikan satu tongkat disertai Surat Thaha ayat 17 s.d. 23 serta pada tahun 1925 beliau kembali diutus menyampaikan hasil istikharah gurunya kepada KH. Hasyim As’ari. Ketika itu, beliau kembali ke Jombang dengan seuntai tasbih dan bacaan “Ya Jabbar, Ya Qahhar 3x”.
Pada tahun 1945, ketika Laskar Hisbullah dibentuk, Kiai As’ad langsung bergabung dan memimpin pasukan bergerilya di daerah Besuki dan sekitarnya. Uniknya, pasukan yang beliau pimpin adalah bara mantan bajingan. Mereka dihimpun dalam Barisan Pelopor yang kemudian mengambil peran dalam perjuangan kemerdekaan dan penumpasan PKI di Situbondo 1965.
Setelah pemilu 1955, Kiai As’ad menjadi anggota Konstituante sampai tahun 1959. Setelah lembaga itu dibubarkan oleh Bung Karno, beliau tidak banyak beraktivitas di bidang politik. Pada tahun 1971, Kiai As’ad menjadi DPRD Kabupaten Situbondo dan pada tahun 1977 beliau mendukung PPP, karena NU saat itu mendukung PPP.
Selain itu, Kiai As’ad merupakan salah satu di antara sekian ulama yang selalu menjembati persoalan-persoalan yang terjadi antara pemerintah dan umat Islam, khususnya warga NU. Sikapnya yang tegas dan tangkas serta bijaksana membuat beliau mampu memainkan perannya sebagai ulama’ NU (pengayom masyarakat) sekaligus sebagai politisi yang arif.
Kebijakan-kebijakan kembali dibuktikan pada tahun 1982 mengenai masalah mata pelajaran PMP yang menjadi kontroversi antara umat Islam dan pemerintah. Tanpa banyak bicara beliau langsung menemui presiden Soeharto dan menunjukkan beberapa hal yang mestinya dikoreksi. Tidak berapa lama, dalam tahun itu juga PMP yang menuai kontroversi tersebut direvisi dan disempurnakan oleh pemerintah.
Begitu pula ketika terjadi konflik antara Muslimin Indonesia vs NU dalam tubuh PPP dan rencana pemerintah memberlakukan Pancasila sebagai satu-satunya azas Organisasi Sosial, Politik maupun Kemasyarakatan, tiba-tiba di PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo berkumpul ratusan Ulama’ NU untuk mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) yang berlangsung pada tanggal 18-21 Desember 1983. Ketika semua Ormas Islam banyak menolak azas Pancasila, justru Munas menerimanya dan menganggapnya tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Munas tersebut juga memutuskan mengembalikan NU ke garis dan landasan asalnya, yang kemudian populer dengan istilah kembali ke Khittah 1926. Inilah sebagian dari peran Kiai As’ad dalam memulihkan keutuhan NU dan umat Islam di negeri ini.
Beliau juga dengan kearifannya pernah melakukan mufaraqah (berpisah) pada saat kepemimpinan NU di bawah KH. Abdurrahman Wahid, karena dirasakan sebagai ketua telah melenceng, yang beliau ibaratkan sebagai imam shalat yang telah kentut. Peristiwa ini terjadi pada Muktamar NU ke-28 di Krepyak, Yogyakarta.
Setelah malang melintang di berbagai pesantren beliau melanjutkan studinya ke Mekkah al-Mukarramah dan berguru kepada ulama’-ulama besar, seperti Sayyid Muhammad Amin Al-Qutby, Syekh Hasan Al-Massad, Sayyid Hasan Al-Yamani, Syekh Abbas Al-Maliki, serta beberapa ulama besar lainnya.
Ketika berangkat mondok, Raden As’ad hanya menggunakan keranjang sebagai tempat pakaian dan bahan makanan. Pernah suatu saat, ayahndanya membelikan koper dan mengutus santri untuk menyerahkan kepada Raden As’ad. Tetapi, ia menolak. Ia lebih senang hidup sederhana. Selama mondok pun, ia hidup mandiri. Ia tak mau merepotkan orang tuanya, karena itu mereka tak pernah mengiriminya. Kadang-kadang Raden As’ad mondok sambil berjualan tikar.
Raden As’ad selama mondok selalu dekat dengan sang Kiai pondok tersebut. Semua Kiai mempunyai keistimewaan tersendiri. Tetapi beliau sangat terkesan pada dua sosok Kiai, yakni Kiai Cholil Bangkalan dan Kiai Hasyim Asy’ari Tebu Ireng Jombang. Kenang beliau, “Saya mendapat barakah dari dua Kiai besar ini. Saya merasa benar-benar jatuh cinta pada kedua Kiai ini. Karena itu, semangat saya untuk menyerap pelajaran dari Kiai ini, masyaAllah, besar sekali!”
Maka tak heran jika Raden As’ad tidak akan berhenti menuntut ilmu pada seorang Kiai sebelum pernah mencicipi ‘madunya’ ilmu kiai itu. Dan ketika liburan pun, bukan berarti beliau libur mengaji. Abahnya akan selalu memberi tugas. Misalnya menghapal Nazham Alfiyyah, yang berhasil dikhatamkannya dalam 40 hari, juga Nazham Imrithi yang berhasil hapal luar kepala dalam 21 hari. Juga kitab-kitab yang lain.
Kiai Syamsul mengharapkan anaknya tidak berlebih-lebihan dalam mengerjakan sesuatu, termasuk dalam hal belajar. Seorang santri harus memperhatikan kondisi jasmaniahnya, agar ia tetap sehat dan nyaman ketika belajar dan beribadah. Pesan abahnya, “Lapar, ngakan! Ketondu, tedung! Jek sampek lapar karna lapar meposang dek pekeran! (Lapar, makanlah! Ngantuk, tidurlah! Jangan sampai kelaparan, karena lapar membuat linglung berpikir!)”
Selepas wafatnya Kiai Syamsul Arifin pada 1951, Raden As’ad diamanahi untuk memimpin pondok pesantren Sukorejo tersebut.
Kiai As’ad dan NU
Belum lengkap rasanya cerita NU tanpa peranan ulama besar ini. Kiai As’ad adalah sosok kiai yang dari awal telah menganut paham-paham ahl al-sunnah wa al-jama’ah dan selalu menghiasi kehidupan dalam kesehariannya dengan budaya-budaya ke-NU-an.
Saat menjadi santri KH. Cholil bangkalan, Kiai As’ad muda menjadi santri kesayangan gurunya sehingga pada masa di mana terjadi peralihan Perkumpulan Ulama dalam “ Komite Hijaz “ menjadi “jam’iyah”, Kiai As’ad muda menjadi satu-satunya mediator dalam penyampaian isyarah KH. Cholil kepada KH. Hasyim Asy’ari, Jombang. Beliau diutus oleh Kiai Cholil pada tahun 1924 untuk menyampaikan satu tongkat disertai Surat Thaha ayat 17 s.d. 23 serta pada tahun 1925 beliau kembali diutus menyampaikan hasil istikharah gurunya kepada KH. Hasyim As’ari. Ketika itu, beliau kembali ke Jombang dengan seuntai tasbih dan bacaan “Ya Jabbar, Ya Qahhar 3x”.
Pada tahun 1945, ketika Laskar Hisbullah dibentuk, Kiai As’ad langsung bergabung dan memimpin pasukan bergerilya di daerah Besuki dan sekitarnya. Uniknya, pasukan yang beliau pimpin adalah bara mantan bajingan. Mereka dihimpun dalam Barisan Pelopor yang kemudian mengambil peran dalam perjuangan kemerdekaan dan penumpasan PKI di Situbondo 1965.
Setelah pemilu 1955, Kiai As’ad menjadi anggota Konstituante sampai tahun 1959. Setelah lembaga itu dibubarkan oleh Bung Karno, beliau tidak banyak beraktivitas di bidang politik. Pada tahun 1971, Kiai As’ad menjadi DPRD Kabupaten Situbondo dan pada tahun 1977 beliau mendukung PPP, karena NU saat itu mendukung PPP.
Selain itu, Kiai As’ad merupakan salah satu di antara sekian ulama yang selalu menjembati persoalan-persoalan yang terjadi antara pemerintah dan umat Islam, khususnya warga NU. Sikapnya yang tegas dan tangkas serta bijaksana membuat beliau mampu memainkan perannya sebagai ulama’ NU (pengayom masyarakat) sekaligus sebagai politisi yang arif.
Kebijakan-kebijakan kembali dibuktikan pada tahun 1982 mengenai masalah mata pelajaran PMP yang menjadi kontroversi antara umat Islam dan pemerintah. Tanpa banyak bicara beliau langsung menemui presiden Soeharto dan menunjukkan beberapa hal yang mestinya dikoreksi. Tidak berapa lama, dalam tahun itu juga PMP yang menuai kontroversi tersebut direvisi dan disempurnakan oleh pemerintah.
Begitu pula ketika terjadi konflik antara Muslimin Indonesia vs NU dalam tubuh PPP dan rencana pemerintah memberlakukan Pancasila sebagai satu-satunya azas Organisasi Sosial, Politik maupun Kemasyarakatan, tiba-tiba di PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo berkumpul ratusan Ulama’ NU untuk mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) yang berlangsung pada tanggal 18-21 Desember 1983. Ketika semua Ormas Islam banyak menolak azas Pancasila, justru Munas menerimanya dan menganggapnya tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Munas tersebut juga memutuskan mengembalikan NU ke garis dan landasan asalnya, yang kemudian populer dengan istilah kembali ke Khittah 1926. Inilah sebagian dari peran Kiai As’ad dalam memulihkan keutuhan NU dan umat Islam di negeri ini.
Beliau juga dengan kearifannya pernah melakukan mufaraqah (berpisah) pada saat kepemimpinan NU di bawah KH. Abdurrahman Wahid, karena dirasakan sebagai ketua telah melenceng, yang beliau ibaratkan sebagai imam shalat yang telah kentut. Peristiwa ini terjadi pada Muktamar NU ke-28 di Krepyak, Yogyakarta.
K.H.R. As'ad Syamsul Arifin(Pendiri Dan Pengasuh ke-II)
Sumber : http://yokayanarid22.blogspot.com/2016/08/sejarah-berdirinya-pondok-pesantren.html
Urutan Pengasuh[sunting | sunting sumber]
- KHR. Syamsul Arifin (1908 – 1951)
- KHR. As’ad Syamsul Arifin (1951 – 1990)
- KHR. Fawaid As’ad (1990 – 2012)
- KHR. Ach. Azaim Ibrahimy (2012 – sekarang)
Kegiatan Pesantren[sunting | sunting sumber]
1. Shalat Tahajjud
Kegiatan ini harus diikuti seluruh santri dan dimulai pukul 03.15 WIB. Pada waktu ini semua santri dibangunkan dari tidur. Setelah berwudhu, seluruh santri harus melaksanakan salat Tahajud
2. Shalat Berjamaah
Semua santri dan umana (pengurus) melaksanakan shalat maktubah secara berjamaah yang dilaksanakan di Masjid Jami dan Mushalla Ibrahimy
3. Mengaji Al-Qur’an
Dilaksanakan pada Pagi hari setelah shalat subuh dan shalat maghrib di kamar masing-masing dipimpin oleh ketua kamar.
4. Pembacaan Nadham
Kegiatan ini dilaksanakan di masing-masing kelas sesuai dengan tingkat pendidikan di bawah pengawasan pengelola lembaga pendidikan.
5. Pengajian Kitab Kuning
Pengajian kitab kuning secara bandongan dilaksanakan setelah Dhuhur, Maghrib dan Isya’. Pengajian ini diikuti oleh santri yang mampu membaca al-Qur’an.
6. Jam Muthala’ah
Jam belajar atau muthala’ah dilaksanakan pada jam 20.00 hingga 22.00 WIB.
7. Kegiatan al-Barqi
Kegiatan ini diperuntukkan bagi santri yang masih belum lancar membaca al-Qur’an
8. Shalat Qiyamul Lail
Shalat ini dilaksanakan oleh santri berdasarkan daerah kamar pada jam 11.
9. Pembacaan Burdah Keliling
Kegiatan ini dilaksanakan setelah kegiatan qiyamul lain, yang ikuti oleh santri yang bertugas didasarkan daerah kamar.
10. Pembacaan Berzanji, Shalawat Badar & Istiqasah
Kegiatan pembacaan barzanji dilaksanakan pada malam Jumat, sedangkan shalawat Badar dan Istiqasah dilaksanakan pada malam selasa.
11. Musyawarah madrasah
Pada malam selasa dan jumat dilaksanakan musyawarah kelas berdasarkan tingkat pendidikan
Perkembangan Lembaga Pendidikan[sunting | sunting sumber]
Lembaga Pendidikan Agama[sunting | sunting sumber]
- Madrasah Ibtidaiyah (1928)
- Madrasah Tsanawiyah (1943)
- Madrasah Aliyah (1958, awalnya bernama PGA, Pendidikan Guru Agama)
- Madrasatul Qur’an
- Madrasah I'dadiyah (2018)
Lembaga Pendidikan Umum[sunting | sunting sumber]
- Sekolah Dasar (1984)
- Sekolah Menengah Pertama (1978)
- Sekolah Menengah Atas (1983)
- Sekolah Menengah Ekonomi Atas (sekarang SMK)
Perguruan Tinggi[sunting | sunting sumber]
- Institut Agama Islam (1968)[4]
- Ma’had Aly (1990)[5]
- Akademi Komputer dan Informatika (2000)[6]
- Akademi Perikanan (2001)[7]
- Program Pascasarjana (2003)[8]
- Akademi Kebidanan (2008)[9]
Rujukan[sunting | sunting sumber]
- ^ Syamsul A. Hasan (2003). Kharisma Kiai As'ad di Mata Umat. PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-3381-30-5. Halaman 3-6.
- ^ http://ksp.go.id/presiden-joko-widodo-anugerahkan-gelar-pahlawan-nasional/
- ^ sukorejo.com/sejarah-berdirinya-pondok-pesantren-salafiyah-syafiiyah/
- ^ http://ibrahimy.ac.id/
- ^ http://mahad-aly.sukorejo.com/
- ^ http://www.amiki.ac.id/
- ^ http://www.aperiki.ac.id/
- ^ http://pps-ibrahimy.ac.id/
- ^ http://www.akbidibrahimy.ac.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar