Blogger

Bukan Hanya bisa IT tapi juga mempunyai Akhlakul Karimah yg memadai, yg pasti mengabdi dan bisa mengaji!

Kumpulan PUISI KH. D Zawawie Imron (Sastrawan Bumi SAKERA)


Hasil gambar untuk foto d zawawi imron hd
KH. D. Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Madura. Dia mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tahun 1982. 
Sejak tamat Sekolah Rakyat, dia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep. Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985. 


Pada 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenek Moyangku Airmata terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi ANTV dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-50 pada 1995. Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.

Saat ini ia menjadi Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta). D. Zawawi Imron banyak berceramah Agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS. Surakarta, UNHAS Makasar, IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta. Juara pertama menulis puisi di ANTV. Pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunei Darussalam (Maret 2002). Selain itu Dia juga dikenal sebagai Budayawan Madura.

Pada tahun 2012 dia menerima penghargaan “The S.E.A Write Award” di Bangkok, Thailand, The S.E.A. Write Award adalah penghargaan yang diberikan keluarga kerajaan Thailand untuk para penulis di kawasan ASEAN. Selain itu pada tahun 2012, di bulan Juli, dia juga meluncurkan buku puisinya yang berjudul "Mata Badik Mata Puisi" di Makassar, kumpulan puisinya ini berisi tentang Bugis dan Makassar.













Langsung Saja Inilah Kumpulan Puisi dari Sang Sastrawan Dari Bumi SAKERA!

SENANDUNG NELAYAN
 angin yang kini letih
bersujud di pelupuk ibu
laut! apakah pada debur ombakmu
terangkum sunyi ajalku?
oi, buih-buih zaman saling memburu

kali ini doaku lumpuh 
gagal mengusap tujuh penjuru
pada siapa ‘kan kulepas napas cemburu? 
jika sebutir air mata adalah permata
tolong simpan di jantung telukmu! 
dari bisik ke bisik perahu beringsut maju

jika nanti bulan datang menyingkap teka-tekimu
tak sia-sia kujilat luka purba 
tempat senyum menetas
jadi iman dan layar

(1976)

BULAN TERTUSUK LALANG

Bulan Tertusuk Lalang 
bulan rebah
  angin lelah di atas kandang
 cicit-cicit kelelawar
 menghimbau di ubun bukit
 di mana kelak kujemput anak cucuku
 menuntun sapi berpasang-pasang
 angin termangu di pohon asam
 bulan tertusuk lalang
 tapi malam yang penuh belas kasihan
 menerima semesta bayang-bayang
 dengan mesra menidurkannya
 dalam ranjang-ranjang nyanyian

(1978)


PERJALANAN LAUT 

dalam begini, meski bisa kutebak kabut yang besok akan
meledak, renyai musim labuh akan menunggu kuncup bersujud dalam
kelopak.
hai, camar-camar yang nakal, kenalkah kalian pada merpati
uutih milik pertapa?
bisik-bisik berangkat ke dalam gua, tapi gua itu sepi, ular-
ular pada bernyanyi menuju laut karena wangsit ternyata boneka
cantik yang berisikan bom waktu.
ketika kutulis sajak ini aku tersenyum sendiri karena gagal
meniru teriak gagak.
lampu-lampu memainkan laut, malam memainkan api, jiwaku yang
berpancang bulan sabit kadang mengambang atas pasang dan
tenggelam dalam surut.
(1978)

KETEMU JUGA AKHIRNYA

kucari sosok tubuhmu 
pada bias sukma di langit
meski langit tak mungkin secantik kenangan
 nyatanya kau termangu di tikung sungai
 merenungi percakapan daging dan tulang
 ketemu juga akhirnya
 bayang-bayang yang akan kekal
 terkatung pada ranting penyesalan
 kalau besok kubangun bendungan di sungai hijau
 maka air harus mengalir
 menyusul roh-roh yang belum pulang

(1979)


DI BUKIT WAHYU


Tengah hari di bukit wahyu kubaca Puisi-Mu.
 Aku tak tahu manakah yang lebih biru, langitkah atau hatiku?
 “Kun!” perintah-Mu. Maka terjadilah alam, rahmat dan sorga. Bahkan di hidung anjing Kaubedakan sejuta bau.
 Dalam jiwaku kini hinggap sehelai daun yang gugur.
Selanjutnya senandung, lalu matahari mundur ke ufuk timur, waktu pun kembali pagi. Di mata embun membias rentetan riwa-yat, mengeja-ngeja desir darahku. ada selubung lepas dariku, angin pun bangkit dari paruh kepodang di pucuk pohon   kenanga.

(1979)

SUNGAI KECIL 
sungai kecil, sungai kecil! di manakah engkau telah kulihat?
antara cirebon dan purwakerta atau hanya dalam mimpi?
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-
daun bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam
doaku
sungai kecil, sungai kecil terangkanlah kepadaku, di manakah
negeri asalmu?
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani
mudah melintasimu danb akan kubersihkan lubukmu agar
para perampok yang mandi merasakan juga sejuk airmu
sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku
dan kalau kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! Kau yang
jelita kutembangkan buat kekasihku.
(1980)

ZIKIR 
alif, alif, alif
alifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan terang
hingga aku berkesiur
pada angin kecil akdir-mu
hompimpah hidupku, hompimpah matiku,
hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah,
hompimpah!
kugali hatiku dengan linggis alifmu
hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
mengerang menyebut alifmu
alif, alif, alif!

alifmu yang satu
tegak di mana-mana
(1983)

HANYA SEUTAS PAMOR BADIK
Dalam tubuhku kau nyalakan dahaga hijau
Darah terbakar nyaris ke nyawa
Kucari hutan
Sambil berdayung di hati malam
Bintang-bintang mengantuk
Menunggu giliran matahari
Ketika kau tegak merintis pagi
Selaku musafir kucoba mengerti:
Ternyata aku bukan pengembara
Kata-kata dan peristiwa
Telah lebur pada makna
Dalam aroma rimba dan waktu
Hanya seutas pamor badik, tapi
Tak kunjung selesai dilayari

SEBUAH ISTANA 
Tepi jalan antara sorga dan neraka
Kumasuki sebuah istana
Tempat sejarah diperam
Menjadi darah dan gelombang
Lewat jendela sebelah kiri
Kulihat matahari menjulurkan lidah
Seperti anjing lapar
Aku makin tak’ ngerti
Mengapa orang-orang memukul-mukul perutnya
Jauh di batas gaib dan nyata
Kabut harimau menyembah cahaya
Kutarik napas dalam-dalam
Dan kupejamkan mata
Alangkah kecil dunia!

TELUK 
Kaubakar gema di jantung waktu
Bibir pantai yang letih nyanyi
Sembuh oleh laut yang berloncatan
Memburu takdirmu yang menderu
Dan teluk ini
Yang tak berpenghuni kecuali gundah dan lampu
Memberangkatkan dahaga berlayar
Berkendara seribu pencalang
Ke arah airmata menjelma harimau
Pohon-pohon nyiur pun yakin
Janjimu akan tersemai
Dan di barat piramid jiwa
Berkat lambaian akan tegak mahligai senja
Senyum pun kekal dalamnya

MENYANDARKAN DIRI KE PILAR
Menyandarkan diri ke pilar
Langit pun menggelegar
Aku tak paham, menggapa layang-layang yang sobek itu
Masih kuasa menjatuhkan bintang
Titik dimana aku harus berdiri
Ternyata pusat semesta
Bahkan tangga ke sorga akan tegak di tempat ini
Memang aku terlambat tahu
Hingga jasad terasa hanyalah kelopak duka
Tapi aku masih punya sisa gerak
Meski bergerak mungkin bernilai dosa
Nyawa pun terasa kental tiba-tiba
Sesaat heningmu yang kencana
Merangaskan waswas yang lebat bunga

DARI KANDANG KE LADANG 
Buat Anang Rahman

Sekitar kandang itu mekarlah kesegaran
Harapan di ujung jangkauan
Menyiduk-nyiduk gelagat danau
( Anak-anak lapar menjilat langit biru
Membatalkan sujudku semalam penuh
Siang itu cuaca tersiram susu
Mesjidku jadi megah
Tegak di delta sungai jiwaku
Di sini ‘kan kuucapkan sejuta bisik
Buat mengetuk semesta pintu )
Dari kandang itu ke ladang
Berguna sebuah titian
Di bawahnya jurang maha dalam 
Tempat mencuci perasaan

PADANG HIJAU 
Sejuk pun singgah
Memeluk nisan demi nisan
Gerimis sore memetik kecapi
Maka tebaklah dalam lautan!
Perahu-perahu tetap terkapar di pantai
Diamku membuat air laut tersibak
Penyair, lewatlah bertongkat sehelai benang!
Bersama Musa dan mereka yang beriman
Mencari sarang angin
Aku serasa terlambat tiba di padang
Di gigir langit, selendang-selendang merah
Berhinggapan di pundak bukit-bukit sejarah
Padang hijau berpusar telaga
Letaknya di jantung Bunda

ZIARAH 
Terkenang Sultan Hasanudin

Ah debu namanya
Yang menyayikan daunan gugur
Gelisah ranting-ranting terasa
Pada siang di pekuburan
Dan gadis-gadis datang
Menjelma selendang ungu
Sementara di perbukitan
Menderu burung derkuku
Ah, debu juga namanya
Yang mengabarkan Ziarah itu
Siang jadi berarti
Dalam busukan kembang-kembang
Badik yang tidur akan bangun 
Hanya menunggu Sangkakala

KAFILAH NURANI I 
Sesal dan lelah
Memang milik manusia
Menang dan kalah
Kita terima dengan senyum yang lega
Derap yang mengalir di dasar sungai purba
Sebut saja airmata arwah
Meminum jangan setetes
Sebab dahaga bisa juga menggelapkan mata
Tenggaklah sepuas-puasnya
Sampai senyummu mawar
Dan matamu sinar yang pijar
Saat langit dan bumi bersatu dalam Sabda
Tibalah saatnya
Kau hunus badik cahaya dari sarung sejarah

SARANG 
Cahaya senja yang merah
Sampai juga ke dalam kamar
Menjagakan kelewang yang tidur
Dari mesjid terdengar zikirmu
Maka perang pun mulai
Bayang-bayang yang kabur pada dinding
Melarikan berita ke ombak gasing
Aku hanyalah kegelapan
Yang mendesah ke hutan-hutan
Oleh bercak-bercak darah
Dalam sarang
Yang kau buat dari kabut
Kelewang itu diam
Menikmati madu di hati danau


LOSARI TENGAH MALAM 
Dengan Putera-puteri Arsal

Malam begini dingin pun diantar kecipak selat
Langit yang putih oleh keramahan
Masih juga dipertahankan bulan
Untuk menangkap kata-kata
Yang berkecimpung bersama ikan-ikan
Zaman memang telah bertukar
Yang dulu peluru 
Sekarang pisang panggang, O, sejarah!
Kubiarkan diriku hanyut
Ke laut lain tempat bintang-bintang berlayar
Kami ingin bercakap sampai parau
Bukan karena risau
Pada sang waktu yang bagaikan lautan tenang 
Kami harus menyalakan gelombang

HUTAN 
Lagumu gemuruh
Menampilkan berpuluh elang berpuluh banteng
Di hutan-hutan sangsiku
Angin yang runtuh dari pohon-pohon
Menjelma permadani di lembah timur
Kuhitung tahun-tahun
Yang berjalan menghancurkan mega dan mega
Dan hujan yang menyerbu dari perut gua
Mengekalkan diamku di ketiak batu
Gemuruh itu ternyata miliku juga
Mengurai bulu-bulu mataku di pelupuk rimba
Dalam begini engkau sebagai seorang pertapa
Tempat sembunyi burung dan kupu-kupu
Tombak pun jadi tersenyum di dalam batu

TEMBANG DAHAGA 
airmata langit yang menetes perlahan
menghindar dari mulut bunga
dengan setia dijatuhinya sebongkah batu
hingga tertulis prasasti
sejak kapan dimulai gelisah
lantaran apa bunga mengidap rasa dahaga
sedang cuaca tak pemah dusta ?
bunga meludah dan terus meludah
sampai langit sempurna merahnya
bulan terlentang kematian warna
tak kuat lagi memukul dahaga
ia menolak tetek cucunya

KUPERAM SUKMAKU 
kuperam sukmaku di ketiak karang
kusemai benihmu dalam lambai dan salam
cambuk ombak melecut hari.
lahirlah sapi yang menanduk kebosanan
kutemukan keloneng benang
dalam sunyiku
menganga liang : ombak panas
arusmu terbakar di lautan jingga
kujilat nanah di luka korban
kauletakkan krakatau ke dalam diriku
Ialu kubuat peta bumi yang baru
dengan pisaumu

Demikian Kumpulan PUISI KH. D Zawawie Imron (Sastrawan Bumi SAKERA) Semoga Bermanfaat!
Sumber : https://mjbrigaseli.blogspot.com/2015/08/kumpulan-puisi-d-zawawi-imron.html
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Random Banner

Efek




SANTREH ANONYMOUS TEKNIK SOKARAJJHE


Efek Cursor

Cursor

Blue Fire Pointer