Blogger

Bukan Hanya bisa IT tapi juga mempunyai Akhlakul Karimah yg memadai, yg pasti mengabdi dan bisa mengaji!

Makalah : Ijtihad

MAKALAH
Tentang Internet


Hasil gambar untuk logo universitas ibrahimy sukorejo situbondo



Disusun oleh:
Abdul Mu’ienMajid
2018303001

Fakultas Sains dan Teknologi
Prodi Teknologi Informasi
Universitas Ibrahimy
2018-2019






KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji hanyalah milik Allah swt Rabb sekalian alam, akhirnya dengan mengucap rasa syukur ke hadiratNya maka selesai juga makalah ini dibuat berkat limpahan rahmat kesehatan, kesempatan, dan dukungan dari semua pihak.
Makalah yang berjudul “ Peran Kyai dan Guru Agama Modern dalam Sistem Pendidikan di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diasuh oleh Bapak Rosyidi, sebagai pemenuhan tugas.
Penulis yakin tanpa dukungan dari semua pihak makalah ini tidak akan selesai pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Sesungguhnya penulis menyadari akan banyaknya kekurangan yang ada dalam makalah ini karena keterbatasan ilmu dan wacana. Karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan dan sempurnanya makalah ini.


Penulis

                                                                                                                      Abdul mu’ien majid






BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Islam merupakan agama terakhir sebagai penutup semua agama yang telah ada. Islam merupakan agama rahmatan lil a’alamin untuk semua umat. Islam hadir di muka bumi ini untuk menyampaikan ajaran-ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Islam perlu dipahami melalui jalan yang praktis karena fungsi agama ini adalah untuk memberikan solusi-solusi yang terbaik atas segala problema sosial yang ada dalam masyarakat.
Di era global yang semakin maju ini perilaku seorang muslim semakin beraneka ragam. Manusia cenderung mengikuti pola hidup yang mewah dan bergaya, mereka bahkan lupa dengan adanya etika, moral dan akhlak yang membatasi perilaku mereka. Di zaman sekarang ini akidah-akidah Islam seperti itu tidak terlalu dihiraukan dan dijadikan pedoman dalam hidup.
Maka penulis bermaksud mengajak para pembaca untuk mempelajari bidang kajian Pengantar Studi Islam. Bidang kajian tersebut hadir untuk membuat manusia sadar akan etika, moral dan akhlak pada dirinya. Bidang kajian tersebut juga dapat membuat tingkat keimanan pada diri bertambah. Karena mempelajari tentang sejarah Islam dan ilmu keislaman yang mendalam.
Di dalam kajian Pengantar Studi Islam, salah satu nya mempelajari tentang Ijtihad. Memang metode ijtihad ini umumnya banyak dibicarakan dalam buku-buku ushul fiqih. Salah satu definisi yang dikemukakan oleh ahli ushul fiqih adalah ‘pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’.hal ini menunjukkan bahwa fungsi ijtihad adalah unuk mengeluarkan (istimbat) hukum syara’.
Menurut analisis penulis, ijtihad ini berbicara hanya dalam masalah hukum takhlify. Berdasarkan pengertian dari mayoritas dan minoritas ulama ushul fiqh, maka penulis akan menjelaskan tentang ijtihad pada bab selanjutnya.
B.  Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad ?
2. Apa dasar/landasan ijtihad ?
3. Apa fungsi/manfaatt ijtihad?
4. Bagaimana syarat-syarat menjadi Mujtahid?
5. Apa saja macam/metode ijtihad?
6. Apa saja contoh-contoh dari ijtihad?
C.  Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari ijtihad.
2. Mengetahui dasasr/landasan ijtihad.
3. Mengetahui fungsi/manfaat ijtihad.
4. Mengetahui syarat menjadi mujtahid.
5. Mengetahui macam/metode ijtihad.
6. Mengetahui contoh-contoh dari ijtihad.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata (jahada), kata ini beserta derivasinya berarti “pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari berbagai urusan.” Perkataan ini menunjukkan pekerjaan yang sulit dilakukan atau lebih dari biasa. Secara ringkas, ijtihad berarti sungguh-sungguh atau kerja keras untuk mendapatkan sesuatu.
Ijtihad secara istilah pada umumnya banyak dibicarakan dalam buku-buku ushul fiqh. Salah satu definisi yang dikemukakan oleh ahli ushul fiqh adalah ‘pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’.hal ini menunjukkan bahwa fungsi ijtihad adalah unuk mengeluarkan (istimbat) hukum syara’, dengan demikian ijtihad tidak berlaku dalam bidang teologi dan akhlak. Ijtihad dalam istilah ushul fiqih inilah yang banyak dikenal masyarakat.
Dalam arti luas atau umum menurut Harun Nasution, ijtihad juga digunakan dalam bidang selain hukum Islam, misalnya Ibn Taimiyah, yang menjelaskan bahwa Ijtihad juga digunakan dalam lapangan tasawuf dan lain-lain, mengatakan “sebenarnya kaum sufi adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan, sebagaimana mujtahid-mujtahid yang lain..., dan sebenarnya kaum sufi di Basrah, dalam masalah ibadah dan hal ihwal ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tetangga mereka dalam masalah hukum, tata negara dan lain-lain.
Dalam kaitan ini Dr.Muhammad al-Ruwaihi juga menjelaskan dalam tulisan-tulisannya, bahwa dimasa-masa akhir ini timbul berbagai pendapat tentang Islam, baik di Barat, Timur, maupun pada orang Arab serta orang Islam sendiri. Pendapat-pendapat orang Islam itu merupakan ijtihad, baik secara perseorangan maupun kolektif, yang mendapat ganjaran sesuai dengan benar atau salahnya ijtihad itu.
Definisi Ijtihad yang telah diutarakan Khudary Bek tersebut juga didukung Ibrahim Hosen yang menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku dalam lapangan fiqih, bidang hukum yang berhubungan dengan amal. Karena itu dalam pandangan ulama usul ijtihad tidak terdapat pada ilmu kalam yang usul ijtihad yang mempelajari ahkam syari’at i’tiqadiyat, juga tidak pada tasawuf yang membahas ahkam syari’at khuluqiyah. Lagi pula ijtihad berkenaan dengan dalil-dalil zanni, sedang ilmu kalam hanya menggunakan dalil-dalil qati’i, Ibrahim Hosen hal ini membatasi dengan tegas ruang lingkup ijtihad hanya pada bidang fiqih saja. Dengan demikian menurut Hosen, jika ada pendapat yang menyatakan ijtihad secara istilah, juga berlaku dalam lapangan aqidah dan akhlak, jelas tidak dapat dibenarkan.
Fakhruddin al-Razi mendefinisikan ijihad sebagai pengerahan kemampuan untuk memikirkan hal apa saja yang tidak mendatangkan celaan, perkataan apa saja yang mencakup fiqih, ilmu kalam dan tasawuf. Ketika menjelaskan kata amali dalam ijtihad fiqh al-Syaukani menulis kata amali itu mengandung arti pengerahan kemampuan dalm menghasilkan hukum yang tidak disebut ijtihad dikalangan fuqaha, tetapi disebut ijtihad dikalangan ahli ilmu kalam, jelas al-Syaukani mengakui adanya ijtihad dikalangan mutakallimin.
Istilah ijtihad dalam periode awal dipergunakan dengan perngertian yang lebih sempit dan lebih khusus daripada kemudian digunakan masa al-Syafi’i dan dimasa sesudahnya. Istilah ini mengandung arti pertimbangan bijaksana yang adil atau pendapat seorang ahli.atau pendapat seorang ahli.
B.  Dasar / Landasan Ijtihad
Ijtihad dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum islam. Landasan dibolehkannya melakukan ijtihad dapat diketahui baik dengan isyarat ataupun dengan jelas terdapat dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah, diantaranya Dalil hukum sebagai dasar wajibnya berijtihad itu adalah firman Allah SWT yang Artinya: “Dia lah yang mengeluarkan orang-orang kafir, diantara ahli kitab dari kampung-kampung mereka, pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka, dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka. (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan kedalam hati mereka, dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan” (Q.S. Al-Hasyr: 2)
Dalam firman Allah diatas sudah dijelaskan bahwa Allah mengharuskan bagi orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan dalam mengambil ibarat supaya berijtihad.
Juga Allah berfirman:
اِنَّآاَنْزَلْنَآاِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآاَرَكَ اللهُ
Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab dengan benar agar engkau menetapkan diantara manusia dengan jalan yang telah ditunjukkan oleh Allah kepadamu”.
Ayat ini secara tidak langsung menunjukkan ketetapan ijtihad dengan jalan qiyas, demikian Kamal Mukhtar mengutip dari Wahbah al-Zuhaili yang juga menukil pendapat dari asy-Syathiby didalam al-Muwafaqat.
Juga dalam Firman Allah :
اِنَّ فىِ ذَالِكَ لَاَايَاتٍ لِقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Artinya : “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (Q.S.Ar-Ra’d: 3)
As-Sunnah pun membolehkan melakukan ijtihad itu, diantaranya didalam As-Sunnah yang dikutip oleh asy-Syafi’i didalam ar-Risalah halaman 494, meriwayatkan dengan sanadnya dari ‘Amr bin ‘Ash yang mendengar Rasulullah SAW bersabda :
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ, وَاِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدٌ
Selain itu landasan ijtihad juga terdapat dalam hadist lain, misalnya hadist yang menceritakan dialog antara Rasul dan Mu’adz ketika diutus oleh Nabi sebagai qadhi (Hakim) ke Yaman.:
Nabi : Dengan apa kamu memutuskan perkara?
Mu’adz : Dengan sesuat yang terdapat dalam Kitabullah
Nabi : Kalau tidak engkau dapati dalam Kitabullah?
Mu’adz : Saya akan memutuskan sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasulullah.
Nabi : Kalau tidak engkau dapati apa yang diputuskan Rasulullah?
Mu’adz : Saya akan berijtihad menggunakan pikiran saya.
Nabi : Segala Puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan dari utusan-Nya.
C.   Fungsi / Manfaat Ijtihad
Ijtihad sangat penting karena telah diakui kedudukan dan legalitasnya dalam islam, namun tidak semua orang dapat melakukan ijtihad, hanya orang-orang tertentu yang dapat memenuhi syarat-syarat menjadi mujtahid.
Adapun fungsi ijtihad yaitu untuk mendapatakan solusi hukum, jika terdapat suatu masalah yang harus diterapkan hukumya, namun tidak dijumpai pada Al-Qur’an dan Hadist.
Dan manfaat ijtihad yang kita dapatkan adalah sebagai berikut :
a.    Mengetahui hukum dari tiap permasalahan yang baru dialami oleh umat Islam sehingga untuk hukum Islam mengalami perkembangan dan dapat menjawab tantangan zaman.
b.    Dapat menyesuaikan hukum berdasarkan perubahan kondisi,waktu,zaman.
c.    Membantu umat Islam dalam menghadapi berbagai masalah yang belum terdapat dalam hukum di Al-Quran dan Hadist.
d.   Menetapkan fatwa terhadap permasalahan yang tidak berhubungan dengan haram atau halal.

D.  Syarat Mujtahid
Pintu ijtihad selalu terbuka pada setiap masa, dengan perkembangan, ijtihad selalu diperlukan. Namun demikian tidak berarti setiap orang boleh melakukan ijtihad. Akhir-akhir ini, sebagaimana cendekiawan Islam merasa berhak dan mau berijtihad, tanpa melihat kesulitan proses ijtihad.
Menurut Muhammad Musa Towana untuk berijtihad maka harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut :
                 1        Persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah) :
a. Baligh
b. Berakal
c. Sehat
d. Kuat daya nalarnya
e. Beriman atau mukmin
                 2        Persyaratan pokok (al-syurut al-asasiyyah)
a. Mengetahui Al-Qur’an
b. Memahami Sunnah
c. Memahami maksud-maksud hukum syari’at
d. Mengetahui kaidah-kaidah umum
                 3        Persyaratan penting (al-syurut al-hammah)
a. Menguasai Bahasa Arab
b. Mengetahui ilmu Ushul Fiqih
c. Mengetahui ilmu mantik atau logika
d. Mengetahui hukum asal suatu perkara
                 4        Persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah)
a. Tidak ada dalil qat’i bagi masalah yang diijtihadi
b. Mengetahui tempat khilafiyah atau perbedaan pendapat
c. Memelihara keshalihan dan ketakwaan diri
Adapun untuk dapat berijtihad dengan Al-Qur’an, maka syarat-syarat berikut harus dipenuhi :
a.    Mengetahui nahwu, sharaf, balaghah
b.    Menguasai ‘ulum al-Qur’an (ushul al-tafsir)
c.    Mengetahui sepenuhnya sebab-sebab turun ayat
d.   Mengetahui sepenuhnya sejarah pengumpulan atau penyusunan Al-Qur’an
e.    Mengetahui sepenuhnya ayat-ayat makkiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, dan sebagainya.
f.     Menguasai ilmu tafsir – pengetahuan tentang pemahaman Al-Qur’an, menjelaskan kandungan makna Al-Qur’an, mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung didalam Al-Qur’an dan hikmah-hikmah Al-Qur’an.

E.   Macam / Metode Ijtihad
Imam asy-Syafi’i membatasi ijtihad hanya dalam pengertian menggali hukum dari nash al-Qur’an dan as-Sunnah melalui cara qiyas saja, bukan yang lain. Ketika ada yang bertanya kepadanya, apakah yang dimaksud dengan qiyas? Apakah ia sama dengan ijtihad ataukah keduanya berbeda? Ia menjawab : “Huma isman li-ma’na wahid (keduanya adalah dua nama untuk satu pengertian). Dengan demikian, asy-Syafi’i menggunakan istilah ijtihad dalam pengertian sempit, hanya pada pengertian qiyas saja, dan tidak memakai metode penalaran hukum yang berdasarkan metode Istihsan atau maslahah al-mursalah.
Akan tetapi, para imam madzhab lainnya memakai ijtihad dengan pengertian yang luas. Mereka menggunakan istilah ijtihad untuk menggambarkan penalaran hukum (ar-Ra’y) melalui metode qiyas dan metode istinbath hukum lainnya. Oleh karena itu, ditinjau dari segi metodenya, sebagaimana yang dirumuskan ad-Duwailibi, ijtihad dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu sebagai berikut :
a.       Al-Ijtihad al-Bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terdapat dalam nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
b.      Al-ijtihad al-Qiyasi, yaitu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum-hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nash al-Qur’an maupun al-Hadis, dengan cara meng-qiyas-kan atau menganalogikannya kepada hukum-hukum syara’ yang ada nash-nya.
c.       Al-Ijtihad al-Istishlahi, yaitu suatu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nash-nya, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-Istishlah (kemaslahatan).
Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Di antara metode atau cara berijtihad adalah
a.       Ijma’ adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. Persetujuan itu diperoleh dengan suatu cara di tempat yang sama. Namun, kini sukar dicari suatu cara dan sarana yang dapat dipergunakan untuk memperoleh persetujuan seluruh ahli mengenai suatu masalah pada suatu ketika di tempat yang berbeda. Ini disebabkan karena luasnya bagian dunia yang didiami oleh umat Islam, beragamnya sejarah, budaya dan lingkungannya. Ijma’ yang hakiki hanya mungkin terjadi pada masa kedua khulafaur rasyidin (Abu Bakar dan Umar) dan sebagian masa pemerintahan khalifah yang ketiga (Usman). Sekarang ijma’ hanya berarti persetujuan atau kesesuaian pendapat di suatu tempat mengenai tafsiran ayat-ayat (hukum) tertentu dalam al-Qur’an (H.M Rasjidi, 1980: 457).
b.      Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah atau al-Hadis dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam al-Qur’an dan as-Sunnah (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis) karena persamaan illat (penyebab atau alasan) nya. Qiyas adalah ukuran, yang dipergunakan oleh akal budi untuk membanding suatu hal dengan hal lain. Sebagai contoh dapat dikemukakan larangan meminum khamar (sejenis minuman yang memabukkan yang dibuat dari buah-buahan) yang terdapat dalam al-Qur’an Surat al-Maidah (5) ayat 90. Yang menyebabkan minuman itu dilarang adalah illat-nya yakni memabukkan. Sebab minuman yang memabukkan, dari apa pun ia dibuat, hukumnya sama denagn khamar yaitu dilarang untuk diminum. Dan untuk menghindari akibat buruk meminum minuman yang memabukkan itu, maka dengan qiyas pula ditetapkan semua minuman yang memabukkan (mibuk), apapun namanya, dilarang diminum dan diperjualbelikan untuk umum.
c.       Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat-istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat yang telah lazim dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan hukum Islam (misalnya gono-gini atau harta bersama) dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam tetapi tidak dihapuskan oleh syari’at Islam, dapat ditarik garis-garis hukumnya untuk dijadikan hukum Islam.
d.      Masalih al-mursalah atau disebut juga maslahat mursalah adalah menetapkan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan didalam nash, dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia, yang bersendikan asas menarik manfaat dan menghindarkan mudarat. Untuk menetapkan apakah sesuatu itu maslahat atau tidak, diperlukan peninjauan atas segala seginya, dan pembandingan mendalam atas manfaat dan mudaratnya, dengan kriteria yang sesuai dengan tujuan Syariat. Mashlahat akan dapat menjadi dasar ketetapan hukum dalam hal-hal yang tidak disebutkan didalam nash, bila ia: (1) hakiki, (2) bersifat umum, (3) tidak bertentangan dengan nash.[13]
e.       Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Istihsan merupakan metode yang unik dalam mempergunakan akal pikiran dengan mengesampingkan analogi yang ketat dan bersifat lahiriah demi kepentingan masyarakat dan keadilan. Di dalam praktik, seorang ahli hukum seringkali terpaksa melepaskan diri dari aturan yang mengikat karena pertimbangan-pertimbangan tertentu yang lebih berat dan lebih perlu diperhatikan. Istihsan adalah suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut suatu keadilan. Misalnya, hukum Islam melindungi dan menjamin hak milik seseorang. Hak milik seseorang hanya dapat dicabut kalau disetujui oleh pemiliknya. Dalam keadaan tertentu, untuk kepentingan umum yang mendesak, penguasa dapat mencabut hak milik seseorang dengan paksa, dengan ganti-kerugian tertentu kecuali kalau ganti-rugi itu tidak dimungkinkan. Contohnya adalah pencabutan hak milik seseorang atas tanah untuk pelebaran jalan, pembuatan irigasi untuk mengairi sawah-sawah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan soaial.
f.       Istishab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan istishab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain yang membatalkannya. Contohnya (a) A (pria) mengawini B (wanita) secara sah. A kemudian meninggalkan istrinya tanpa proses perceraian. C (pria) melamar B yang menurut kenyataan tidak memiliki suami. Walaupun B menerima lamaran itu, perkawinan antara C dan B tidak dapat dilangsungkan karena status B adalah (masih) istri A. Selama tidak dapat dibuktikan bahwa B telah diceraikan oleh A selama itu pula status hukum B adalah istri A. Contoh lain, (b) A mengadakan perjanjian utang-piutang dengan B. Menurut A utangnya telah dibayar kembali, tanpa menunjukkan suatu bukti atau saksi. Dalam kasus seperti ini berdasarkan istishab dapat ditetapkan bahwa A masih belum membayar utangnya dan perjanjian itu masih tetap berlaku selama belum ada bukti yang menyatakan bahwa perjanjian utang piutang tersebut telah berakhir.[15]
g.      Adat-istiadat atau ‘urf yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Adat istiadat ini tentu saja yang berkenaan dengan soal muamalah. Contohnya adalah kebiasaan yang berlaku di dunia perdagangan pada masyarakat tertentu melalui inden misalnya, jual-beli buah-buahan di pohon yang dipetik sendiri oleh pembelinya, melamar wanita dengan memberikan sebuah tanda (pengikat), pembayaran mahar secara tunai atau utang atas persetujuan kedua belah pihak dan lain-lain, harta bersama suami-istri dalam masyarakat muslim Indonesia (tersebut di atas). Sepanjang adat-istiadat itu tidak bertentangan dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah atau al-Hadis, dan transaksi di bidang muamalah itu didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak serta tidak melanggar asas-asas hukum perdata Islam di bidang muamalah (kehidupan sosial), menurut kaidah hukum Islam yang menyatakan “adat dapat dikukuhkan menjadi hukum” (al-‘adatu muhakkamah(t)), hukum adat yang demikian dapat berlaku bagi umat Islam.

F.    Contoh-contoh Ijtihad
Contoh dalam ijtihad seperti salah satunya yaitu penentuan 1 syawal. Para ulama berkumpul untuk berdiskusi mengeluarkan argumennya untuk menentukan 1 syawal. Setiap ulama memiliki dasar hukum dan cara dalam perhitungannya, jika telah berkumpul setiap argumennya maka muncul lah kesepakatan dalam penentuan 1 syawal.
Contoh lainnya yaitu pada suatu peristiwa di zaman khalifah umar bin khattab, yang dimana para pedagang Muslim meberikan pertanyaan kepada khalifah tentang seberapa besar cukai yang mesti dikenakan kepada para pedagang asing yang telah berdagang dinegara khalifah. Jawaban dari pertanyaan ini masih belum dimuat secara jelas di dalam Al-Qur’an dan Hadist. Oleh karena itu khalifah Umar Bin Khattab selanjutnya melakukan ijtihad dengan menetapkan bahwa cukai yang dibayarkan oleh pedagang asing disamakan dengan cukai yang biasanya dibebankan kepada para pedagang Muslim oleh negara asing dimana mereka telah berdagang.




















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
            Sebagai penutup dari makalah ini perlu dikemukakan bahwa ijtihad merupakan usaha menyusun konsepsi pemikiran Islam (Al-Qur’an) yang mencakup berbagai aspek ajaran Islam termaksud hukum (fiqih), dan ijtihad adalah dipahami sebagai upaya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan yang konkrit yang merupakan penjabaran konsepsi Islam dalam segala aspeknya. Dalam kaitan ini akal manusia dapat berfungsi, baik sebagai alat maupun sebagai sumber kreasi.
            Walaupun ijtihad itu sulit namun tetap saja perlu. Karena pemahaman dan interpretasi terhadap suatu ajaran wahyu tidak akan pernah bernilai final dan benar secara mutlak. Oleh karena itu ijtihad hendaklah dipersepsi sebagai proses, usaha dan metode untuk menuju pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam sekaligus penerapannya. Ijtihad sebagai usaha manusia untuk menjawab persoalan-persoalan umat terutama dalam bidang hukum, terbuka kemungkinan untuk salah atau benar, bahkan terbuka peluang untuk dikritik.
            Dengan demikian, umat Islam dalam kehidupan pada era industrialisasi sekarang ini, tidak perlu lagi hanya berpegang pendapat satu mazhab tertentu, tetapi hendaklah bersikap bahwa pendapat setiap madzhab khusunya dibidang hukum dapat saja dijadikan sebagai pegangan atau pedoman, selama masih responsif dan relevan asalkan dapat dipertanggungjawabkan secara agama dan ilmu Qur’an.
B.  Saran
            Untuk para pembaca hendaknya memahami betul masalah-masalah mengenai ijtihad, karena dengan ijthad seseorang mampu menetapkan hukum syara’ dengan jalan menentukan dari Al-Qur’an dan Hadist.






DAFTAR PUSTAKA

Ali, m. (1990). Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Akhmad Dahlan, dan Muhammad Iqbal. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Amir Mu'allim, Y. (1997). Ijtihad (Suatu Kontroversi antara Teori dan Fungsi). Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Haidar Bagir, S. B. (1996). Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Penerbit Mizan.
Hasan, A. (1994). Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung: Penerbit Pustaka.



Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Random Banner

Efek




SANTREH ANONYMOUS TEKNIK SOKARAJJHE


Efek Cursor

Cursor

Blue Fire Pointer